livescoreasianbookie.com – Massimiliano Allegri, atau yang biasa dikenal sebagai Max Allegri, selama ini kerap dicap sebagai pelatih yang “defensif”, konservatif, dan terlalu pragmatis. Cap tersebut melekat sejak masa keemasannya bersama Juventus, terutama saat berhasil membawa klub tersebut ke dua final Liga Champions (2015 dan 2017), mendominasi Serie A, namun dinilai terlalu kaku dan tidak atraktif dalam gaya bermain.
Namun, narasi semacam itu sejatinya tidak sepenuhnya adil memang piawai dalam menyusun pertahanan yang solid dan mampu membaca situasi pertandingan dengan cermat. Tapi di balik ketenangan dan pendekatannya yang kerap disebut “reaktif”, tersimpan kemampuan ofensif yang strategis, tajam, dan efektif — terutama saat timnya membutuhkan variasi dalam menyerang.
Dalam artikel ini, kita akan membedah secara mendalam bagaimana Massimiliano bukan hanya pelatih bertahan, melainkan juga memiliki reputasi sebagai pelatih yang tahu cara membangun serangan, memaksimalkan talenta ofensif, dan mengatur ritme permainan secara cerdas.

Membedah Mitos: Apakah Allegri Hanya Pelatih Bertahan?
Salah satu narasi umum yang berkembang adalah bahwa Allegri adalah pelatih yang fokus hanya pada pertahanan dan hasil akhir. Hal ini tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Faktanya, saat Juventus mencapai final Liga Champions 2016/17, mereka memiliki:
- Jumlah gol terbanyak di fase gugur (12 gol)
- Performa impresif di leg kedua semifinal melawan Monaco (2–1, dominan dalam penguasaan bola dan jumlah tembakan)
- Trio Higuain–Dybala–Mandzukic yang sangat agresif
Allegri tidak sekadar “bertahan total”. Ia lebih mengedepankan kontrol permainan — kadang dengan menurunkan tempo, kadang menyerang tajam melalui transisi cepat.
Fleksibilitas Taktik: Tidak Terikat Formasi Tunggal
Salah satu kekuatannya adalah kemampuannya menyesuaikan sistem permainan sesuai dengan kondisi skuad dan lawan. Ia tidak terikat pada satu filosofi rigid seperti tiki-taka, gegenpressing, atau high-possession.
Beberapa formasi yang kerap digunakannya:
- 4-3-3 (Milan era Zlatan)
- 3-5-2 (Juve saat ke final UCL 2015)
- 4-2-3-1 (saat memiliki Dybala dan Higuain)
- 4-4-2 diamond (eksperimen dengan Bernardeschi & Chiesa)
Artinya, Allegri mengutamakan efektivitas dan efisiensi, bukan keindahan estetis semata. Tapi dari fleksibilitas ini, muncul juga banyak strategi serangan yang tak terlihat langsung tapi mematikan.
Mengasah Penyerang: Dari Tevez hingga Dybala
Salah satu bukti bahwa Allegri adalah pelatih ofensif yang cerdas adalah bagaimana ia mengembangkan pemain-pemain depan menjadi lebih produktif.
- Carlos Tevez (Juventus)
- Era Conte: 14 gol musim pertama
- Era Allegri: 20 gol musim pertama + 7 assist
Tevez mengakui bahwa Allegri memberinya kebebasan lebih untuk turun ke lini tengah dan membuka ruang di belakang.
- Paulo Dybala
- Di bawah Allegri (2015–2019), Dybala mencetak 68 gol dan 32 assist
- Allegri membangun sistem yang memfasilitasi pergerakan bebas Dybala sebagai second striker atau playmaker
- Gonzalo Higuain
- Musim 2016–17: 24 gol Serie A
- Allegri memberinya skema yang memaksimalkan first-touch di dalam kotak penalti
Jelas bahwa Allegri tahu bagaimana memaksimalkan potensi ofensif anak asuhnya.
Gaya Menyerang Allegri: Keseimbangan dan Kejutan
Alih-alih hanya mengejar dominasi penguasaan bola memilih penyerangan yang terstruktur dan tajam, dengan prioritas pada:
- Variasi Serangan: Bisa melalui flank, kombinasi di tengah, maupun transisi cepat
- Memanfaatkan Ruang: Khususnya dengan overlapping fullback (misalnya Dani Alves dan Alex Sandro)
- Serangan Balik Terorganisir: Beberapa gol penting Juventus di Liga Champions berasal dari skema ini
Contoh paling ikonik adalah gol Mandzukic di final UCL 2017 vs Real Madrid. Meski kalah dalam pertandingan itu, gol tersebut menunjukkan bagaimana Juventus menyerang dengan pola one-touch football yang luar biasa.
Allegri dan Filosofi “Penyelesaian yang Sempurna”
Salah satu kutipannya yang sering diulang:
“Sepak bola bukan soal memainkan 1000 operan, tapi bagaimana menyelesaikan peluang dalam 3 operan.”
Filosofi ini menjelaskan mengapa tidak pernah terlalu memaksakan ball possession. Ia lebih fokus pada efektivitas akhir, sesuatu yang menjadi ciri khas tim-tim Eropa tangguh di era modern.
Hal ini juga menjadikannya pelatih yang cocok untuk pertandingan besar. Juventus asuhannya kerap tampil solid dan efisien dalam laga-laga knockout, terutama di Eropa.
Adaptasi di Era Kedua di Juventus
Allegri kembali ke Juventus pada 2021 dalam situasi yang jauh berbeda: tim sedang dalam masa transisi, kehilangan Cristiano Ronaldo, minim kreativitas di lini tengah, dan struktur finansial ketat.
Meski performa tim naik turun, Allegri tetap mampu mencetak:
- Final Coppa Italia
- Runner-up Supercoppa
- Tiket Liga Champions (2022, 2023)
Yang menarik, ia mulai memberi ruang kepada pemain muda seperti:
- Federico Chiesa – digunakan sebagai sayap terbalik
- Kenan Yıldız – diberi kebebasan sebagai trequartista
- Moise Kean – digunakan sebagai finisher di formasi dua striker
Hal ini menunjukkan bahwa Allegri juga bersedia berkembang bersama zaman.
Perbandingan dengan Pelatih “Ofensif Murni”
Banyak yang membandingkannya dengan pelatih seperti Guardiola, Klopp, atau bahkan De Zerbi. Tapi perbandingan ini kurang adil, karena basis filosofi mereka berbeda.
- Guardiola mendikte permainan dengan penguasaan bola ekstrem
- Klopp mengandalkan gegenpressing dan transisi cepat
- Allegri lebih pada pengelolaan energi dan momen
Dengan kata lain tidak “kurang ofensif”, tapi ofensif dengan cara yang berbeda. Dalam banyak kasus, cara ini justru lebih cocok untuk pertandingan knockout atau lawan yang lebih dominan.
Kemenangan-Kemenangan Spektakuler ala Allegri
Beberapa laga yang menunjukkan kemampuan menyerangnya :
- Juve 3-0 Barcelona (2017 UCL)
- Milan 4-2 Inter (2011)
- Juve 3-1 Napoli (2018, Serie A)
- Juve 2-1 Tottenham (UCL 2018, comeback dalam 3 menit)
Semua pertandingan ini menunjukkan bahwa ketika dibutuhkan, Allegri bisa menyusun strategi ofensif yang sangat efektif.
Allegri, Si Arsitek Sepak Bola Rasional
Massimiliano memang bukan pelatih yang bermain untuk menampilkan pertunjukan indah sepanjang 90 menit. Tapi dia adalah pelatih yang memahami ritme pertandingan, membaca lawan, dan meramu strategi menang dengan sumber daya yang ada.
Dan yang tak boleh dilupakan — dalam setiap tim suksesnya, selalu ada kontribusi signifikan dari lini serang. Ia bukan sekadar “parkir bus”, tapi membangun pondasi kokoh agar serangan bisa disusun dengan cermat, akurat, dan tajam.
Jadi, menyebut hanya sebagai pelatih bertahan adalah penyederhanaan yang keliru. Ia adalah pelatih kompleks, adaptif, dan strategis, yang bisa bertahan bila perlu, dan menyerang dengan presisi ketika dibutuhkan.